Jumat, 05 April 2013

Upacara Tiwah Suku Dayak



Upacara Tiwah merupakan sebuah upacara kematian agama Hindu Kaharingan  yang terdapat dikalangan masyarakat suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Kematian seseorang merupakan suatu peralihan dari suatu kedudukan dalam dunia ini ke kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus.
Kata Tiwah berasal dari bahasa Sangiang, bahasa sangiang adalah bahasa yang digunakan dalam kepercayaan agama Hindu Kaharingan. Sangiang biasanya digunakan oleh pemimpin agama Hindu Kaharingan untuk memimpin suatu acara keagamaan. Pada umumnya masyarakat Kalimantan Tengah  menganggap bahwa upacara Tiwah merupakan adat, tetapi menurut pemeluk agama Hindu Kaharingan Tiwah merupakan proses mengantarkan arwah atau dalam bahasa Dayaknya liau ke surga atau dalam bahasa sangiangnya mengantarkan ke “Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang”, yang berarti sebuah tempat kekal atau abadi dan tempat itu berhias emas, permata, berlian dan lain-lain[1].
Upacara Tiwah adalah upacara tertinggi bagi masyarakat suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Dalam kepercayaan mereka roh manusia yang meninggal  tidak akan kembali dan bersatu dengan penciptanya tanpa melalui upacara Tiwah. Upacara ini dapat dikatakan terdapat unsur-unsut supranatural karena upacara ini adalah mempersatukan roh, oleh karena itu urutan dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan Talatah atau aturan upacara yang sudah ada dan tertulis.
Dalam kepercayaan Dayak, kehidupan setelah kematian cukup gamplang. Alam baka bagi mereka sebenarnya merupakan dunia asali, tempat asal-usul mereka. Suatu dunia yang tidak ada bedanya dengan dunia kekinian, hanya lebih lengkap dan sempurna, dimana tidak ada lagi kekurangan. Di sana manusia bebas dari segala kesusahan dan menikmati kehidupan yang serba cukup dan berlimpahan dalam  suasana pesta yang tidak akan berakhir. Namun susunan kemasyaraakatan yang ada di dunia kini masih akan berkelanjutan di dunia asali. Perbedaannya bahwa semua menikmati kehidupan yang tidak kekurangan. Perbedaan yang hakiki terletak pada kehadiran Batang Garing yang berdiri di tengah-tengah dunia asali tersebut. Dari Batang Garing inilah menerima sumber hidup, sehingga usia mereka terus berlanjut dan tiap-tiap kali diperbarui. Untuk bisa kealam baka itu, maka diperlukan perlakuan-perlakuan ritual kematian atau penguburan. Jadi yang berperan adalah pihak manusia yang hidup. Melalui ritus kematian inilah roh orang yang meninggal itu diantar menuju tujuan akhir[2].
Upacara tiwah pada umumnya dilakukan 5 tahun sekali, tetapi sesuai dengan kesepakatan keluarga yang hendak melakukan upacara Tiwah. Upacara Tiwah ini menghabiskan banyak biaya bisa sampai puluhan juta. Menurut agama Hindu Kaharingan, Tiwah harus dilaksanakan karena sebagai rasa tanggung jawab kepada arwah dan bertujuan untuk mengantarkan si arwah atau liau ke Lewu Tatau (surga). Dalam kepercayaan agama Hindu Kaharingan, manusia berasal dari keturunan Raja Bunu yang menuju jalan pulang ke Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa).
Acara Tiwah berkaitan erat dengan konsep roh atau jiwa yang dipercayai oleh orang Dayak Ngaju yaitu apabila mereka mati maka roh merka akan terbagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Salumpuk teras liau atau panyalumpuk liau, roh utama yang menghidupkan ini pada saat meninggal dunia  langsung kembali ke Ranying Mahatala Langit Sang Pencipta.
2.      Liau balawang panjang ganan bereng, roh dalam tubuh yang dalam upacara Balian Tantulak Ambun Rutas Matei di hantar ke tempat yang bernama Lewu Balo Indu Rangkang Penyang.
3.      Liau karahang tulang, silu, tuntang balau. Ini adalah roh yang mendiami tulang, kuku, dan rambut. Pada saat mati roh ini tinggal di dalam peti mati[3].


[2] Ukur,Fr. 1992. Majalah: Peninjau, hlm. 158-159.
[3] http://www.scribd.com/doc/86618983/Makalah-Suku-Dayak. Diunduh pada tangggal 22 Desember 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar