Upacara
Tiwah merupakan sebuah upacara kematian agama Hindu Kaharingan yang terdapat dikalangan masyarakat suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.
Kematian seseorang merupakan suatu peralihan dari suatu kedudukan dalam dunia
ini ke kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus.
Kata
Tiwah berasal dari bahasa Sangiang,
bahasa sangiang adalah bahasa yang digunakan dalam kepercayaan agama Hindu
Kaharingan. Sangiang biasanya digunakan oleh pemimpin agama Hindu Kaharingan
untuk memimpin suatu acara keagamaan. Pada umumnya masyarakat Kalimantan
Tengah menganggap bahwa upacara Tiwah
merupakan adat, tetapi menurut pemeluk agama Hindu Kaharingan Tiwah merupakan
proses mengantarkan arwah atau dalam bahasa Dayaknya liau ke surga atau dalam
bahasa sangiangnya mengantarkan ke “Lewu
Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang”, yang berarti sebuah
tempat kekal atau abadi dan tempat itu berhias emas, permata, berlian dan
lain-lain[1].
Upacara
Tiwah adalah upacara tertinggi bagi masyarakat suku Dayak Ngaju Kalimantan
Tengah. Dalam kepercayaan mereka roh manusia yang meninggal tidak akan kembali dan bersatu dengan
penciptanya tanpa melalui upacara Tiwah. Upacara ini dapat dikatakan terdapat
unsur-unsut supranatural karena upacara ini adalah mempersatukan roh, oleh
karena itu urutan dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan Talatah atau aturan
upacara yang sudah ada dan tertulis.
Dalam
kepercayaan Dayak, kehidupan setelah kematian cukup gamplang. Alam baka bagi
mereka sebenarnya merupakan dunia asali, tempat asal-usul mereka. Suatu dunia
yang tidak ada bedanya dengan dunia kekinian, hanya lebih lengkap dan sempurna,
dimana tidak ada lagi kekurangan. Di sana manusia bebas dari segala kesusahan
dan menikmati kehidupan yang serba cukup dan berlimpahan dalam suasana pesta yang tidak akan berakhir. Namun
susunan kemasyaraakatan yang ada di dunia kini masih akan berkelanjutan di
dunia asali. Perbedaannya bahwa semua menikmati kehidupan yang tidak
kekurangan. Perbedaan yang hakiki terletak pada kehadiran Batang Garing yang
berdiri di tengah-tengah dunia asali tersebut. Dari Batang Garing inilah
menerima sumber hidup, sehingga usia mereka terus berlanjut dan tiap-tiap kali
diperbarui. Untuk bisa kealam baka itu, maka diperlukan perlakuan-perlakuan
ritual kematian atau penguburan. Jadi yang berperan adalah pihak manusia yang
hidup. Melalui ritus kematian inilah roh orang yang meninggal itu diantar
menuju tujuan akhir[2].
Upacara
tiwah pada umumnya dilakukan 5 tahun sekali, tetapi sesuai dengan kesepakatan
keluarga yang hendak melakukan upacara Tiwah. Upacara Tiwah ini menghabiskan
banyak biaya bisa sampai puluhan juta. Menurut agama Hindu Kaharingan, Tiwah
harus dilaksanakan karena sebagai rasa tanggung jawab kepada arwah dan
bertujuan untuk mengantarkan si arwah atau liau ke Lewu Tatau (surga). Dalam
kepercayaan agama Hindu Kaharingan, manusia berasal dari keturunan Raja Bunu
yang menuju jalan pulang ke Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa).
Acara
Tiwah berkaitan erat dengan konsep roh atau jiwa yang dipercayai oleh orang
Dayak Ngaju yaitu apabila mereka mati maka roh merka akan terbagi menjadi tiga,
yaitu:
1. Salumpuk
teras liau atau panyalumpuk liau, roh utama yang menghidupkan ini pada saat
meninggal dunia langsung kembali ke
Ranying Mahatala Langit Sang Pencipta.
2. Liau
balawang panjang ganan bereng, roh dalam tubuh yang dalam upacara Balian
Tantulak Ambun Rutas Matei di hantar ke tempat yang bernama Lewu Balo Indu
Rangkang Penyang.
3. Liau
karahang tulang, silu, tuntang balau. Ini adalah roh yang mendiami tulang,
kuku, dan rambut. Pada saat mati roh ini tinggal di dalam peti mati[3].
[1] http://t1r4.wordpress.com/2009/09/01/tiwah-dari-kisah-ritual-suku-dayak/, di unduh
pada tanggal 20 Desember 2012..
[2] Ukur,Fr. 1992. Majalah:
Peninjau, hlm. 158-159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar