Minggu, 07 April 2013

AGAMA BUDDHA



A.    Sejarah agama Budha
Buddhisme lahir sebagai antitesa terhadap Hinduisme di India. Pokok-pokok ajaran Hinduisme yang dikritik ialah Otoritas Brahmana dan konsep keselamatan.
Budhisme merupakan ajaran yang seluruh ajaran dan keyakinannya berpusat pada Sidharta Gautama. Sidharta Gautama dilahirkan dari rahim dewi Mahayana sekitar tahun 560 SM[1]. Di taman Lumbini di kerajaan kapilawastu, India Utara, sekitar 100 mil dari Benares. Ayahnya, Suddhodana adalah seorang raja kecil dan memerintah suku Sakya. Sementara Smith lebih menyebutnya seorang feodal yang punya kekuasaan, karena bangsa India waktu itu belum bersatu dan menjadi besar.
Kehidupan Siddharta Gautama tidak pernah terlepas dari wilayah istana, sehingga pada usia 16 tahun Siddharta Gautama menikah dengan seorang putri negara tetangga yang bernama Yasodhara, yang memberinya seorang anak yang diberi nama Rahula. Sehingga kehidupanya sangatlah sempurna waktu itu.
Walaupun demikian pada usia 20 tahun Gautama merasakan keresaha jiwa yang mendorongnya meninggalkan seluruh kekayaan duniawi itu.
Jika melihat kebelakang, latar belakang tidak puasnya ini telah diabadikan dalam kisah empat penglihatan yang berlalu. Kisah ini merupakan salah satu ajakan berkelana yang paling terkenal dalam kesustraan dunia. Sewaktu Siddharta lahir demikianlah dikisahkan, ayahnya memanggil juru ramal untuk mengetahui nasib ahli warisnya dimasa yang akan datang. Semua juru ramal mempunyai pendapat yang sama bahwa ini adalah yang luar biasa. Namun karirnya dilanda oleh keragu-raguan yang bersifat mendasar. Demikianlah beberapa ahli ramal menafsirkan perjalanan karir gautama kepada sang guru waktu itu. Dimana menurut para peramal jika gautamaa tetap hidup dalam dunia ia akan menyatukan seluruh India dan akan menjadi penakluknya yang terbesar, seorang cakrawati atau raja sejagat. Dilain pihak, jika ia meninggalkan hidup keduniawian, ia akan menjadi seorang raja, tetapi menjadi seorang penyelamat dunia.
Menghadapi kedua pilihan tersebut ayahnya memutuskan untuk menjadikan anaknya seorang raja sejagat, mengingat waktu itu India masih menjadi kerajaan yang terpecah belah dengan sistem kerajaan-kerajaan kecil yang menguasai masyrakat dalam bidang sosial,politik maupun moral keagamaan. Sehingga segalaa upaya diusahakan agar Gautama hatinya berpaling kepada dunia semata konon menurut cerita yang berkembang bahwa tiga istana dan empat pulh gadis menari diserahkan kepadanya. Secara khusus pangeran dijaga agar tidak mengenal dunia luar terlebih kepada penyakit, cacat, dan kematian.
Namun suatu hari, seorang tua telah diturunkan atau seperti dikisahkan dalam versi lain, telah dijelmakan secara ghaib oleh dewa-dewa untuk memberikan pengalaman yang berisi pengajaran bagi sang pangeran saat itu. Seseorang cacat, ompong, rambutnya telah beruban,pincang, bungkuk, berstandar pada sebuah tongkat, dengan tangannya gemetar. Hari itu Sidharta mengenal adanya usia tua, walaupun raja melipatgandakan pengawalnya untuk Gautama tetapi pada perjalanannya yang kedua kalinya Siddharta bertemu dengan seorang dengan penyakit terbaring di pinggir jalan. Dan dalam perjalanan ketiga, ia bertemu dengan sesosok jenazah. Akhirnya dalam kesempatan keempat ia melihat orang rahib dengan kepala dicukur gundul, memakai juba berwarna kuning tanah seang memegang mangkuk. Pada hari itu ia belajar tentang kemungkinan memundurkan diri dari kehidupan di dunia ini. Kejadian ini mengharuskan dia meninggalkan segala keindahan duniawi, hingga pada suatu malam, ketika ia berusia 29 tahun, ia mengambil keputusan untuk meninggalkan seluruh kehidupannya itu da memulai perjalanan yang mulia.
Sementara versi lain menceritakan bahwa periode ini dinamakn periode Buddha sebagai pangeran Sidharta, dimana setelah beberapa kali diskusi dengan saisnya tentang pertemuanya dengan kejadian-kejadian diluar istana termasuk dengan seseorang pertapa gembala yang wajahnya memperlihatkan kedamaian dan pandangan sangat tenang, seolah tidak terpengaruh oleh manusia. Sehingga kejadian ini memaksa Gautama untuk memikirkannya secara mendalam sehingga terjadi konflik pertentangan batin dan berakhir dengan keputusan untuk meninggalkan istana dan ditandai dengan penyerahan diri secara total.
Sidharta meninggalkan istana dengan pada usia  29 tahun ketika anaknya yang pertama, rahula baru saja dilahirkan. Ia menuju sungai anoma dengan menunggang kuda khantaka ditemani oleh saisnya. Di tepi sungai anoma Siddharta Gautama tinggal selama tujuh hari tujuh malam, dan menggunakan waktunya untuk merenungi kehidupan.  Dengan langkah ini maka berakhirlah riwayat hidup pangeran Siddharta Gautama dan mulai kehidupannya sebagai pertapa.

B.     Pokok-Pokok Ajaran
Inti ajaran Pokok diantaranya Tuhan, Kitab Suci, Pancasila Buddha, Tri Ratna, Upacara Keagamaan dan Triratna.
1.      Tuhan
Buddhisme merupakan agama non-theisme, yakni agama yang tidak secara definitif mengajarkan tentang Tuhan. Titik tekan ajaran Buddhisme pada ajaran moral dan etika. Ajaran tentang Tuhan, dijabarkan secara berbeda oleh aliran-aliran yang ada dalam Buddhisme. Menurut Theravada /Hinayana Buddhis, tuhan diyakini sebagai dzat pencipta yang kuasa tetapi tidak secara personal dikonsepkan. Menurut Mahayana Buddhis, tuhan dikonsepkan secara personal dengan Adibuddha atau Boddhisatva (dalam beberapa sekte disebut dengan Avalokitesvara).
2.      Kitab suci:
Kitab suci Buddhisme merupakan konkordansi dari ajaran-ajaran Sang Buddha Siddharta Gautama yang ditulis oleh para muridnya. Kitab suci Buddhisme adalah TRIPITAKA (Sutta, Vinaya, dan Abiddhamma). Penyusunannya secara lengkap pada masa Raja Ashoka 313 SM, dan diteliti ulang tahun 77 SM yaitu: Suttapitaka, Vinayapitaka dan Abiddhammapitaka.
a.       Suttapitaka berisi 5 bagian pokok-pokok ajaran Buddha
Jataka = kisah hidup Buddha
Dhammapada = spiritualitas dan moralitas
b.      Vinayapitaka: Ajaran tentang  kerahiban (225 aturan)
c.       Abhidhammapitaka: Berisi 7 naskah tentang Psikokologi, metafisik, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
3.      Keselamatan
Konsep keselamatan dalam Buddhisme adalah NIRVANA, yakni terbebas dari penderitaan (dukkha) dengan mengamalkan catvāri āryasatyāni dan Ārya 'ṣṭāṅga mārgaḥ. Banyak Dharma, sedikit karma.
Cara-cara yang ditempuh Buddha untuk mencapai Nirvana adalah berdasarkan atas kesadaran menurut prinsip-prinsip ajaran pokok serta 8 ajaran kebenaran.pelaksanaanya adalah dengan sikap atau perbuatan yang bertendensi melalui hal-hal yang berbau keduniawian,sebagai yang dilakukan oleh orang-orang Ateis(pertapa) Hindis pada masanya. Hanya bedanya terletak dalam prosedur melakukan tapa. Bilamana dalam Hinduisme Ateis menjalankan tapa atas petunjuk-petunjuk pendeta dengan sengaja menestapakan badan jasmani untuk menderita(karena siksan-siksan seperti mengikat leher dengan rantai besi,mengangkat kaki sebelah,terus menerus duduk diatas papan yang berpaku dan sebagainya).maka dalam Buddisme hal yang berhubungan dengan penyiksaan Jasmani tersebut tidak dilakukan.Kepercayaan pada diri sendiri untuk mencapai kebebasan merupakan lampu penerang bagi jalan yana akan ditempuhnya[2].
4.      Pancasila Budha/ etika Budha diantaranya yaitu:
a.       Pannatipata veramani sikkhapadang sammadiyammi  (saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup)
b.      Adinnadana veramani sikkhapadang sammadiyammi (saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari mengambil sesuatu yang tidak diberikan).
c.       Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami (saya bertekad akan melatih diri untuk  menghindari perbuatan asusila).
d.      Musavadha veramani sikkhapadang samadiyami (saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari ucapan tidak benar).
e.       Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami (saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari mengkonsumsi segala zat yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran).
5.      Triratna merupakan inti Ajaran Agama Buddha, yakni:
1.      Buddha: Merupakan tingkat pencerahan jiwa tertinggi
2.      Dharma: Merupakan kebenaran Buddha yang wajib dikabarkan
3.      Sangha: Merupakan persekutuan orang suci yang ingin mencapai derajat ARAHAT
6.      Upacara keagamaan
Secara umum upacara keagamaan dalam Agama Buddha dihitung menurut penanggalan berdasarkan bulan. Upacara-upacara itu dilakukan dalam rangka memperingati kelahiran, kelepasan, dan kematian orang-orang penting dalam Buddhisme.
7.      Aliran dan Sekte
a.       Mahayana (Asia Timur=Korea, China, Jepang; Asia Utara= Tibet, Mongol, Nepal)
b.      Theravada/Hinayana (Asia Selatan dan Tenggara = Sri Lanka, Burma, Thailand, Indonesia)
c.       Tantrisme (menyebar ke wilayah Asia Tenggara)
d.      Zen (Jepang)
e.       Tridharma (Percampuran antara Buddha Mahayana, Konghucu, dan Taoism di Indonesia).
C.     Ajaran tentang Manusia
            Ajaran tentang tuhan berkaitan sekali dengan ajaran tentang Manusia.Hal ini nampak juga dalam ajaran Agama Buddha,oleh karena Tuhan dikaburkan ,dijadikan demikian abstrak yaitu menjadi suasana yang tanpa gerak,maka manusia menjadi suatu kelompok fungsi,tanpa pribadi,tanpa tanggung jawab. Manusia terdiri dari dua unsur lahir dan batin (namarupa) atau terdiri dari 5 skandha, ialah rupa atau wujud pengamatan ,perasaan,kehendak dan kesadaraan. Di dalam ajaran tentang anatman di ajarkan bahwa tiada  aku yang tetap, yang ada hanyalah fungsi pengamatan tanpa yang mengamati,fungsi perasaan tanpa yang merasakan,fungsi kehendak tanpa menghendakifungsi kesadaraan tanpa menyadari. Seperti halnya dengan segala sesuatu itu berubah, tiada yang tetap demikian juga manusia.Manusia berada di dalam arus hidup yang terus menerus berubah,hidup itu adalah suatu bahwa,sesuatu yang terus menerus meng-ada atau Menjadi setiap saat.setiap saat ada perorangan individu yang baru,yang berbeda dengan mendahuluinya dan mengikutinya.
            Anehnya manusia dianjurkan juga mencari kelepasaan.di dalam hidup sehari-hari agaknya buddha Gautama tak dapat melepaskan diri dari pandangan tentang jiwa yang tetap ada. Berdasarkan itu di dalam agama Buddha  ada 2 macam cara mengatakan tentang manusia, yaitu secara populeratau umum dan secara falsafati. Tak dapat disangkal bahwa di dalam ajaran iniManusia menjadi kaburAjaran Buddha penuh dengan rasa tanggung jawab,seandainya tidak manusia tidak akan mencari kelepasaan,kedamaian dsb.itulah sebabnya di dalam Mahayana timbul ajaran tentang Boddhisatwa yang menaruh belas kasihan kepada sesamanya.ajaran ini berbeda sekali dengan ajaran Kristen tentang Manusia.Bagi keyakinan Kristen manusia adalah segambar dan serupa dengan Allah,dalam arti bahwa manusia harus mencerminkan hidup ilahi di dalam hidupnya.Manudia bertanggung jawab atas segala perbuatanya terhadap Tuhanya[3].Pandangan manusia dengan Tuhan yang berbeda sekali itu ,membawa perbedaan dalam ajaran yang mengenai Hukum Tuhan, Dosa, Keselamataan dan lain sebagainya.

D.    Hari Raya
1.      Waisak
Penganut Buddha merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali "Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa Sanskerta.

2.      Kathina

Hari raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha.

3.      Asadha

Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja / Asalha Puja. Hari raya Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati peristiwa dimana Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Bhikkhu (Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).

Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Buddha sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan en-angamal Dhamma yang patut dihormati.
Khotbah pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan mengenai Empat Kebenaran Mulia( Cattari Ariya Saccani ) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.

4.      Magha Puja

Hari Besar Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Agama Buddha dan Etika Pokok para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang kesemuanya arahat tersebut ditasbihkan sendiri oleh Sang Buddha (Ehi Bhikkhu), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu dengan yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha. Tempat ibadah agama Buddha disebut Vihara.
E.     Keyakinan dalam Agama Buddha
Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, Dhamma dan Sangha dengan kata-kata dalam suatu rumusan kuno yang sederhana, namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama Tisarana (Tiga Perlindungan). Rumusan itu berbunyi :
Buddham saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Buddha
Dhammam saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Dhamma
Sangham saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Sangha
Rumusan ini disabdakan oleh Sang Buddha sendiri (bukan oleh para siswaNya atau mahluk lain) pada suatu ketika di Taman Rusa Isipatana dekat Benares, pada enam puluh orang arahat siswa Beliau, ketika mereka akan berangkat menyebarkan Dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat menusia. Sang Buddha bersabda : "Para bhikkhu, ia (yang akan ditahbiskan menjadi sâmanera dan bhikkhu) hendaklah: setelah mencukur kepala dan mengenakan jubah kuning . . . bersujud di kaki para bhikkhu, lalu duduk bertumpu lutut dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, dan berkata: "Aku berlindung kepada Buddha", "Aku berlindung kepada Dhamma", "Aku berlindung kaprda Sangha" (Vinaya Pitaka I, 22).
Sang Buddha menetapkan rumusan tersebut bukan hanya bagi mereka yang akan ditahbiskan menjadi samanera dan bhikkhu, tetapi juga bagi umat awam. Setiap orang yang memeluk agama Buddha, baik ia seorang awam ataupun seorang bhikkhu, menyatakan keyakinannya dengan kata-kata rumusan Tisarana tersebut. Nampaklah betapa luhurnya kedudukan Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagi umat Buddha 'berlindung kepada Tiratana' merupakan ungkapan keyakinan, sama seperti 'syahadat' bagi umat Islam dan 'credo' bagi umat Kristen.
F.      Aliran Buddha
A.    Buddha Hinayana
Prinsip-prinsip pandangan dari ajaran Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Budha dan menjaga ajaran Budha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh karena itu dipandang ortodok.
Kata Hinaya sendiri telah menunjukkan isi dan cita-cita yang terkandung didalamnya yaitu berarti kendaraan kecil, maksudnya bahwa aliran ini tidak dapat menampung banyak orang untuk memperoleh kebahagiaan Nirwana, karena dalam prinsip pandangan-Nya mengatakan bahwa tiap orang tergantung pada usahanya sendiri dalam mencapai kebahagiaan abadi dengan tanpa adanya penolong dari dewa ataupun manusia Budha.  Aliran ini juga “Theravada” yang libih jelas menggambarkan pendirian aliran tersebut, karena Theravada berarti “jalan orang-orang tua”[4].
Aliran Theravada berpendapat bahwa nasib manusia di alam semesta ini terletak di tanganmya sendiri. Tidak ada dewa-dewa atau kekuatan yang melebihi manusia untuk membantunya mengatasi kesulitan hidup ini. Kemudian kebijakan utama adalah bodhi, kearifan, yang lebih mengutamakan perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri dari pada perbuatan aktif mencari kebenaran.
Aliran Theravada  ini berpusat pada pra rahib, yang lebih menekankan bahwa setiap manusia harus mengenal dunia rahib walaupun hanya dalam jangka waktu sebentar.
B.     Aliran Mahayana
Aliran Budhisme ini disebut dengan Mahayana karena dapat menampung sebanyak-banyaknya orang yang ingin masuk Nirwana, sehingga diumpamakan sebagai sebuah “kereta besar” yang memuat penumpang banyak ( arti kata Mahayana adalah kereta/kendaraan besar)[5].
            Sebab-sebab aliran ini dipandang dapat menampung banyak penumpang ialah karena ia mempunyai pandangan prinsipil bahwa setiap manusia yang telah mencapai bodhi (ilham) dapat menolong orang lain untuk mencapai bodhi pula. Dengan cara demikian, maka makin banyaklah bodhi-satva yang bakal menjadi penghuni Nirwana.
            Saling tolong menolong dalam mencapai keselamatan dan kelepasan inilah rupa-rupanya yang menjadi daya penarik daro para pengikutnya dan calon-calon pengikutnya.
Berbeda dengan Hinayana yang mmpertahankan kemurnian ajaran Budha yang tidak banyak mengalami perpecahan dalam aliran-aliran, sebaliknya dalam Mahayana terjadi perpecahan dalam banyak aliran/sekte-sekte , antara lain Budhisme di Tibet yang dikenal dengan Lamaisme, Budhisme di Mongolia, Budhisme Jepang yang dikenal dengan Zen Budhisme, Budjisme di Cina, Budhisme di Korea dan sebagainya. Kesemuanya menggambarkan corak dan sifatnya. Hal ini karena masing-masing dipengaruhi oleh kebudayaan suku bangsa setempat ataupun kebudayaan nasional baik dalam bebtuk filsafat hidup maupun dalam sistem kepercayaan.

G.    Penyebaran  Agama Buddha di Indonesia
Berbicara sejarah awal agama budha Masuk pertama di Indonesia pada abad ke-5 M (tahun 423), di Jawa yang dibawa oleh Bhikkhu Gunawarman dari India, dan menyebar ke Sumatera.Kerajaan Buddhis terbesar adalah Sriwijaya (Sumatera) pada abad ke-7 M, dan Mataram Kuno (di Jawa ) abad ke-8 M. Aliran terbesar di Indonesia adalah Theravada, dan aliran Mahayana masuk melalui Bhikkhu Khumaraghosa dari Bengal yang menjadi ghuru pada masa Syailendra, abad ke-7 M. Terjadi “percampuran” antara Hindu dan Buddha di Indonesia yang muncul dalam aliran Siva-Buddha dan besar ketika zaman Singasari dan Majapahit. Akhir pengaruh Buddha dan Hindu di Indonesia = runtuhnya Majapahit tahun 1292 M, dan digeser posisinya oleh Islam.
Sejarah modern dibangkitkan kembali oleh Pandita Josias van Dienst (Deputy Director  General Buddhist Mission) di Jawa. Kedatangan Bhikkhu Narada Mahathera dari Sri Lanka, dengan 12 bhikkhu lainnya tahun 1939 membangkitkan Agama Buddha di Indonesia. Tahun 1935-1950an berdiri perkumpulan-perkumpulan Buddhis, seperti Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI), Gabungan Tri Dharma Indonesia, Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI).Tahun 1958 berdiri PERBUDI (Perkumpulan Buddhis Indonesia) di Semarang. Tahun 1970 berubah menjadi PERBUDDHI (gabungan dari PERBUDI, GPBI, PUUI, dan Wanita Buddhis Indonesia). Tahun 1972 fusi seluruh organisasi Buddhis, yakni BUDHI (Buddha Dharma Indonesia).
Candi Borobudur, monumen Dinasti Syailendra yang dibangun di Magelang, Jawa Tengah. Pada akhir abad ke-5, seorang biksu Buddha dari India mendarat di sebuah kerajaan di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Tengah sekarang. Pada akhir abad ke-7, I Tsing, seorang peziarah Buddha dari Tiongkok, berkunjung ke Pulau Sumatera (kala itu disebut Swarnabhumi), yang kala itu merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya. Ia menemukan bahwa Buddhisme diterima secara luas oleh rakyat, dan ibukota Sriwijaya (sekarang Palembang), merupakan pusat penting untuk pembelajaran Buddhisme (kala itu Buddha Vajrayana). I Tsing belajar di Sriwijaya selama beberapa waktu sebelum melanjutkan perjalanannya ke India.
Pada pertengahan abad ke-8, Jawa Tengah berada di bawah kekuasaan raja-raja Dinasti Syailendra yang merupakan penganut Buddhisme. Mereka membangun berbagai monumen Buddha di Jawa, yang paling terkenal yaitu Candi Borobudur. Monumen ini selesai di bagian awal abad ke-9.Di pertengahan abad ke-9, Sriwijaya berada di puncak kejayaan dalam kekayaan dan kekuasaan. Pada saat itu, kerajaan Sriwijaya telah menguasai Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Semenanjung Malaya.




[1]Huston Smith, 2008,Agama-Agama manusia, Jakarta: Yayasan Obor  Indonesia, hal:107.

[2] Arifin ,Menguak Misteri Agama-agama Besar. Yogyakarta: hal 103
[3] Harun hadiwiyono Hal 78-79
[4]Arifin, 1987, Menguak Misteri Ajaran-Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: Golden Terayon Press.Hal: 108

[5]Arifin, 1987, Menguak Misteri Ajaran-Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: Golden Terayon Press.Hal: 108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar