A. Sejarah agama Budha
Buddhisme
lahir sebagai antitesa terhadap Hinduisme di India. Pokok-pokok ajaran
Hinduisme yang dikritik ialah Otoritas Brahmana dan konsep keselamatan.
Budhisme
merupakan ajaran yang seluruh ajaran dan keyakinannya berpusat pada Sidharta
Gautama. Sidharta Gautama dilahirkan dari rahim dewi Mahayana sekitar tahun 560
SM[1].
Di taman Lumbini di kerajaan kapilawastu, India Utara, sekitar 100 mil dari
Benares. Ayahnya, Suddhodana adalah seorang raja kecil dan memerintah suku
Sakya. Sementara Smith lebih menyebutnya seorang feodal yang punya kekuasaan,
karena bangsa India waktu itu belum bersatu dan menjadi besar.
Kehidupan
Siddharta Gautama tidak pernah terlepas dari wilayah istana, sehingga pada usia
16 tahun Siddharta Gautama menikah dengan seorang putri negara tetangga yang
bernama Yasodhara, yang memberinya seorang anak yang diberi nama Rahula.
Sehingga kehidupanya sangatlah sempurna waktu itu.
Walaupun
demikian pada usia 20 tahun Gautama merasakan keresaha jiwa yang mendorongnya
meninggalkan seluruh kekayaan duniawi itu.
Jika
melihat kebelakang, latar belakang tidak puasnya ini telah diabadikan dalam
kisah empat penglihatan yang berlalu. Kisah ini merupakan salah satu ajakan
berkelana yang paling terkenal dalam kesustraan dunia. Sewaktu Siddharta lahir
demikianlah dikisahkan, ayahnya memanggil juru ramal untuk mengetahui nasib
ahli warisnya dimasa yang akan datang. Semua juru ramal mempunyai pendapat yang
sama bahwa ini adalah yang luar biasa. Namun karirnya dilanda oleh
keragu-raguan yang bersifat mendasar. Demikianlah beberapa ahli ramal
menafsirkan perjalanan karir gautama kepada sang guru waktu itu. Dimana menurut
para peramal jika gautamaa tetap hidup dalam dunia ia akan menyatukan seluruh
India dan akan menjadi penakluknya yang terbesar, seorang cakrawati atau raja
sejagat. Dilain pihak, jika ia meninggalkan hidup keduniawian, ia akan menjadi
seorang raja, tetapi menjadi seorang penyelamat dunia.
Menghadapi
kedua pilihan tersebut ayahnya memutuskan untuk menjadikan anaknya seorang raja
sejagat, mengingat waktu itu India masih menjadi kerajaan yang terpecah belah
dengan sistem kerajaan-kerajaan kecil yang menguasai masyrakat dalam bidang
sosial,politik maupun moral keagamaan. Sehingga segalaa upaya diusahakan agar
Gautama hatinya berpaling kepada dunia semata konon menurut cerita yang
berkembang bahwa tiga istana dan empat pulh gadis menari diserahkan kepadanya.
Secara khusus pangeran dijaga agar tidak mengenal dunia luar terlebih kepada
penyakit, cacat, dan kematian.
Namun
suatu hari, seorang tua telah diturunkan atau seperti dikisahkan dalam versi
lain, telah dijelmakan secara ghaib oleh dewa-dewa untuk memberikan pengalaman yang
berisi pengajaran bagi sang pangeran saat itu. Seseorang cacat, ompong,
rambutnya telah beruban,pincang, bungkuk, berstandar pada sebuah tongkat,
dengan tangannya gemetar. Hari itu Sidharta mengenal adanya usia tua, walaupun
raja melipatgandakan pengawalnya untuk Gautama tetapi pada perjalanannya yang
kedua kalinya Siddharta bertemu dengan seorang dengan penyakit terbaring di pinggir
jalan. Dan dalam perjalanan ketiga, ia bertemu dengan sesosok jenazah. Akhirnya
dalam kesempatan keempat ia melihat orang rahib dengan kepala dicukur gundul,
memakai juba berwarna kuning tanah seang memegang mangkuk. Pada hari itu ia
belajar tentang kemungkinan memundurkan diri dari kehidupan di dunia ini.
Kejadian ini mengharuskan dia meninggalkan segala keindahan duniawi, hingga
pada suatu malam, ketika ia berusia 29 tahun, ia mengambil keputusan untuk
meninggalkan seluruh kehidupannya itu da memulai perjalanan yang mulia.
Sementara
versi lain menceritakan bahwa periode ini dinamakn periode Buddha sebagai
pangeran Sidharta, dimana setelah beberapa kali diskusi dengan saisnya tentang
pertemuanya dengan kejadian-kejadian diluar istana termasuk dengan seseorang
pertapa gembala yang wajahnya memperlihatkan kedamaian dan pandangan sangat
tenang, seolah tidak terpengaruh oleh manusia. Sehingga kejadian ini memaksa
Gautama untuk memikirkannya secara mendalam sehingga terjadi konflik
pertentangan batin dan berakhir dengan keputusan untuk meninggalkan istana dan
ditandai dengan penyerahan diri secara total.
Sidharta
meninggalkan istana dengan pada usia 29
tahun ketika anaknya yang pertama, rahula baru saja dilahirkan. Ia menuju
sungai anoma dengan menunggang kuda khantaka ditemani oleh saisnya. Di tepi
sungai anoma Siddharta Gautama tinggal selama tujuh hari tujuh malam, dan
menggunakan waktunya untuk merenungi kehidupan.
Dengan langkah ini maka berakhirlah riwayat hidup pangeran Siddharta
Gautama dan mulai kehidupannya sebagai pertapa.
B.
Pokok-Pokok
Ajaran
Inti ajaran Pokok diantaranya Tuhan, Kitab Suci,
Pancasila Buddha, Tri Ratna, Upacara Keagamaan dan Triratna.
1. Tuhan
Buddhisme merupakan agama non-theisme, yakni agama
yang tidak secara definitif mengajarkan tentang Tuhan. Titik tekan ajaran
Buddhisme pada ajaran moral dan etika. Ajaran tentang Tuhan, dijabarkan secara
berbeda oleh aliran-aliran yang ada dalam Buddhisme. Menurut Theravada
/Hinayana Buddhis, tuhan diyakini sebagai dzat pencipta yang kuasa tetapi tidak
secara personal dikonsepkan. Menurut Mahayana Buddhis, tuhan dikonsepkan secara
personal dengan Adibuddha atau Boddhisatva (dalam beberapa sekte disebut dengan
Avalokitesvara).
2. Kitab suci:
Kitab suci Buddhisme merupakan konkordansi dari
ajaran-ajaran Sang Buddha Siddharta Gautama yang ditulis oleh para muridnya.
Kitab suci Buddhisme adalah TRIPITAKA (Sutta, Vinaya, dan Abiddhamma).
Penyusunannya secara lengkap pada masa Raja Ashoka 313 SM, dan diteliti ulang
tahun 77 SM yaitu: Suttapitaka, Vinayapitaka dan Abiddhammapitaka.
a.
Suttapitaka berisi
5 bagian pokok-pokok ajaran Buddha
Jataka = kisah
hidup Buddha
Dhammapada =
spiritualitas dan moralitas
b.
Vinayapitaka:
Ajaran tentang kerahiban (225 aturan)
c.
Abhidhammapitaka:
Berisi 7 naskah tentang Psikokologi, metafisik, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
3. Keselamatan
Konsep keselamatan dalam Buddhisme adalah NIRVANA,
yakni terbebas dari penderitaan (dukkha) dengan mengamalkan catvāri
āryasatyāni dan Ārya 'ṣṭāṅga mārgaḥ. Banyak Dharma,
sedikit karma.
Cara-cara
yang ditempuh Buddha untuk mencapai Nirvana adalah berdasarkan atas kesadaran
menurut prinsip-prinsip ajaran pokok serta 8 ajaran kebenaran.pelaksanaanya
adalah dengan sikap atau perbuatan yang bertendensi melalui hal-hal yang berbau
keduniawian,sebagai yang dilakukan oleh orang-orang Ateis(pertapa) Hindis pada
masanya. Hanya bedanya terletak dalam prosedur melakukan tapa. Bilamana dalam
Hinduisme Ateis menjalankan tapa atas petunjuk-petunjuk pendeta dengan sengaja
menestapakan badan jasmani untuk menderita(karena siksan-siksan seperti
mengikat leher dengan rantai besi,mengangkat kaki sebelah,terus menerus duduk
diatas papan yang berpaku dan sebagainya).maka dalam Buddisme hal yang
berhubungan dengan penyiksaan Jasmani tersebut tidak dilakukan.Kepercayaan pada
diri sendiri untuk mencapai kebebasan merupakan lampu penerang bagi jalan yana
akan ditempuhnya[2].
4. Pancasila Budha/ etika Budha diantaranya yaitu:
a.
Pannatipata
veramani sikkhapadang sammadiyammi (saya
bertekad akan melatih diri untuk menghindari pembunuhan
makhluk hidup)
b.
Adinnadana
veramani sikkhapadang sammadiyammi (saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari mengambil
sesuatu yang tidak diberikan).
c.
Kamesu
micchacara veramani sikkhapadang samadiyami (saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari perbuatan asusila).
d.
Musavadha
veramani sikkhapadang samadiyami (saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari ucapan tidak
benar).
e.
Surameraya
majjapamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami (saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari mengkonsumsi
segala zat yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran).
5. Triratna merupakan inti Ajaran Agama Buddha, yakni:
1.
Buddha:
Merupakan tingkat pencerahan jiwa tertinggi
2.
Dharma:
Merupakan kebenaran Buddha yang wajib dikabarkan
3.
Sangha:
Merupakan persekutuan orang suci yang ingin mencapai derajat ARAHAT
6. Upacara keagamaan
Secara umum upacara keagamaan dalam
Agama Buddha dihitung menurut penanggalan berdasarkan bulan. Upacara-upacara
itu dilakukan dalam rangka memperingati kelahiran, kelepasan, dan kematian
orang-orang penting dalam Buddhisme.
7. Aliran dan Sekte
a.
Mahayana (Asia
Timur=Korea, China, Jepang; Asia Utara= Tibet, Mongol, Nepal)
b.
Theravada/Hinayana
(Asia Selatan dan Tenggara = Sri Lanka, Burma, Thailand, Indonesia)
c.
Tantrisme
(menyebar ke wilayah Asia Tenggara)
d.
Zen (Jepang)
e.
Tridharma
(Percampuran antara Buddha Mahayana, Konghucu, dan Taoism di Indonesia).
C. Ajaran
tentang Manusia
Ajaran tentang tuhan berkaitan sekali
dengan ajaran tentang Manusia.Hal ini nampak juga dalam ajaran Agama
Buddha,oleh karena Tuhan dikaburkan ,dijadikan demikian abstrak yaitu menjadi
suasana yang tanpa gerak,maka manusia menjadi suatu kelompok fungsi,tanpa
pribadi,tanpa tanggung jawab. Manusia terdiri dari dua unsur lahir dan batin (namarupa)
atau terdiri dari 5 skandha, ialah rupa atau wujud pengamatan
,perasaan,kehendak dan kesadaraan. Di dalam ajaran tentang anatman di ajarkan
bahwa tiada aku yang tetap, yang ada
hanyalah fungsi pengamatan tanpa yang mengamati,fungsi perasaan tanpa yang
merasakan,fungsi kehendak tanpa menghendakifungsi kesadaraan tanpa menyadari. Seperti
halnya dengan segala sesuatu itu berubah, tiada yang tetap demikian juga
manusia.Manusia berada di dalam arus hidup yang terus menerus berubah,hidup itu
adalah suatu bahwa,sesuatu yang terus menerus meng-ada atau Menjadi setiap
saat.setiap saat ada perorangan individu yang baru,yang berbeda dengan
mendahuluinya dan mengikutinya.
Anehnya manusia dianjurkan juga
mencari kelepasaan.di dalam hidup sehari-hari agaknya buddha Gautama tak dapat
melepaskan diri dari pandangan tentang jiwa yang tetap ada. Berdasarkan itu di
dalam agama Buddha ada 2 macam cara
mengatakan tentang manusia, yaitu secara populeratau umum dan secara falsafati.
Tak dapat disangkal bahwa di dalam ajaran iniManusia menjadi kaburAjaran Buddha
penuh dengan rasa tanggung jawab,seandainya tidak manusia tidak akan mencari
kelepasaan,kedamaian dsb.itulah sebabnya di dalam Mahayana timbul ajaran
tentang Boddhisatwa yang menaruh belas kasihan kepada sesamanya.ajaran ini
berbeda sekali dengan ajaran Kristen tentang Manusia.Bagi keyakinan Kristen
manusia adalah segambar dan serupa dengan Allah,dalam arti bahwa manusia harus
mencerminkan hidup ilahi di dalam hidupnya.Manudia bertanggung jawab atas
segala perbuatanya terhadap Tuhanya[3].Pandangan
manusia dengan Tuhan yang berbeda sekali itu ,membawa perbedaan dalam ajaran
yang mengenai Hukum Tuhan, Dosa, Keselamataan dan lain sebagainya.
D.
Hari Raya
1.
Waisak
Penganut
Buddha merayakan Hari
Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari
kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian
Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai
Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha
Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand,
dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali "Wesakha",
yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa
Sanskerta.
2. Kathina
Hari raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha.
3. Asadha
Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja / Asalha Puja. Hari raya Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati peristiwa dimana Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Bhikkhu (Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).
Tiratana atau
Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana
merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana
dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung
kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Buddha sebagai guru dan teladannya.
Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma
mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha.
Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha
merupakan pewaris dan en-angamal Dhamma yang patut dihormati.
Khotbah
pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan
nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma.
Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan mengenai Empat
Kebenaran Mulia( Cattari Ariya Saccani ) yang menjadi landasan pokok Buddha
Dhamma.
4. Magha Puja
Hari Besar
Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Agama Buddha dan
Etika Pokok para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang
kesemuanya arahat tersebut ditasbihkan sendiri oleh Sang Buddha (Ehi Bhikkhu),
yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu dengan yang
lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha.
Tempat ibadah agama Buddha disebut Vihara.
E. Keyakinan
dalam Agama Buddha
Umat Buddha
di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, Dhamma
dan Sangha dengan kata-kata dalam suatu rumusan kuno yang sederhana, namun
menyentuh hati, yang terkenal dengan nama Tisarana (Tiga Perlindungan). Rumusan
itu berbunyi :
Buddham saranam gacchâmi -
Aku berlindung kepada Buddha
Dhammam saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Dhamma
Sangham saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Sangha
Dhammam saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Dhamma
Sangham saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Sangha
Rumusan ini
disabdakan oleh Sang Buddha sendiri (bukan oleh para siswaNya atau mahluk lain)
pada suatu ketika di Taman Rusa Isipatana dekat Benares, pada enam puluh orang
arahat siswa Beliau, ketika mereka akan berangkat menyebarkan Dhamma demi
kesejahteraan dan kebahagiaan umat menusia. Sang Buddha bersabda : "Para bhikkhu,
ia (yang akan ditahbiskan menjadi sâmanera dan bhikkhu) hendaklah: setelah
mencukur kepala dan mengenakan jubah kuning . . . bersujud di kaki para
bhikkhu, lalu duduk bertumpu lutut dan merangkapkan kedua tangan di depan dada,
dan berkata: "Aku berlindung kepada Buddha", "Aku berlindung
kepada Dhamma", "Aku berlindung kaprda Sangha" (Vinaya Pitaka I,
22).
Sang Buddha
menetapkan rumusan tersebut bukan hanya bagi mereka yang akan ditahbiskan
menjadi samanera dan bhikkhu, tetapi juga bagi umat awam. Setiap orang yang
memeluk agama Buddha, baik ia seorang awam ataupun seorang bhikkhu, menyatakan
keyakinannya dengan kata-kata rumusan Tisarana tersebut. Nampaklah betapa
luhurnya kedudukan Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagi umat Buddha 'berlindung
kepada Tiratana' merupakan ungkapan keyakinan, sama seperti 'syahadat' bagi
umat Islam dan 'credo' bagi umat Kristen.
F. Aliran
Buddha
A.
Buddha Hinayana
Prinsip-prinsip
pandangan dari ajaran Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Budha dan
menjaga ajaran Budha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh karena itu
dipandang ortodok.
Kata
Hinaya sendiri telah menunjukkan isi dan cita-cita yang terkandung didalamnya
yaitu berarti kendaraan kecil, maksudnya bahwa aliran ini tidak dapat menampung
banyak orang untuk memperoleh kebahagiaan Nirwana, karena dalam prinsip
pandangan-Nya mengatakan bahwa tiap orang tergantung pada usahanya sendiri
dalam mencapai kebahagiaan abadi dengan tanpa adanya penolong dari dewa ataupun
manusia Budha. Aliran ini juga
“Theravada” yang libih jelas menggambarkan pendirian aliran tersebut, karena
Theravada berarti “jalan orang-orang tua”[4].
Aliran
Theravada berpendapat bahwa nasib manusia di alam semesta ini terletak di
tanganmya sendiri. Tidak ada dewa-dewa atau kekuatan yang melebihi manusia
untuk membantunya mengatasi kesulitan hidup ini. Kemudian kebijakan utama
adalah bodhi, kearifan, yang lebih mengutamakan perbuatan yang tidak
mementingkan diri sendiri dari pada perbuatan aktif mencari kebenaran.
Aliran
Theravada ini berpusat pada pra rahib,
yang lebih menekankan bahwa setiap manusia harus mengenal dunia rahib walaupun
hanya dalam jangka waktu sebentar.
B.
Aliran Mahayana
Aliran Budhisme ini
disebut dengan Mahayana karena dapat menampung sebanyak-banyaknya orang yang
ingin masuk Nirwana, sehingga diumpamakan sebagai sebuah “kereta besar” yang
memuat penumpang banyak ( arti kata Mahayana adalah kereta/kendaraan besar)[5].
Sebab-sebab
aliran ini dipandang dapat menampung banyak penumpang ialah karena ia mempunyai
pandangan prinsipil bahwa setiap manusia yang telah mencapai bodhi (ilham)
dapat menolong orang lain untuk mencapai bodhi pula. Dengan cara demikian, maka
makin banyaklah bodhi-satva yang bakal menjadi penghuni Nirwana.
Saling
tolong menolong dalam mencapai keselamatan dan kelepasan inilah rupa-rupanya
yang menjadi daya penarik daro para pengikutnya dan calon-calon pengikutnya.
Berbeda dengan Hinayana yang mmpertahankan kemurnian
ajaran Budha yang tidak banyak mengalami perpecahan dalam aliran-aliran,
sebaliknya dalam Mahayana terjadi perpecahan dalam banyak aliran/sekte-sekte ,
antara lain Budhisme di Tibet yang dikenal dengan Lamaisme, Budhisme di
Mongolia, Budhisme Jepang yang dikenal dengan Zen Budhisme, Budjisme di Cina,
Budhisme di Korea dan sebagainya. Kesemuanya menggambarkan corak dan sifatnya.
Hal ini karena masing-masing dipengaruhi oleh kebudayaan suku bangsa setempat
ataupun kebudayaan nasional baik dalam bebtuk filsafat hidup maupun dalam
sistem kepercayaan.
G. Penyebaran Agama Buddha di Indonesia
Berbicara sejarah awal agama budha Masuk pertama di
Indonesia pada abad ke-5 M (tahun 423), di Jawa yang dibawa oleh Bhikkhu Gunawarman
dari India, dan menyebar ke Sumatera.Kerajaan Buddhis terbesar adalah Sriwijaya
(Sumatera) pada abad ke-7 M, dan Mataram Kuno (di Jawa ) abad ke-8 M. Aliran
terbesar di Indonesia adalah Theravada, dan aliran Mahayana masuk melalui
Bhikkhu Khumaraghosa dari Bengal yang menjadi ghuru pada masa Syailendra, abad
ke-7 M. Terjadi “percampuran” antara Hindu dan Buddha di Indonesia yang muncul
dalam aliran Siva-Buddha dan besar ketika zaman Singasari dan Majapahit. Akhir
pengaruh Buddha dan Hindu di Indonesia = runtuhnya Majapahit tahun 1292 M, dan
digeser posisinya oleh Islam.
Sejarah modern dibangkitkan kembali oleh Pandita
Josias van Dienst (Deputy Director
General Buddhist Mission) di Jawa. Kedatangan Bhikkhu Narada Mahathera
dari Sri Lanka, dengan 12 bhikkhu lainnya tahun 1939 membangkitkan Agama Buddha
di Indonesia. Tahun 1935-1950an berdiri perkumpulan-perkumpulan Buddhis,
seperti Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI), Gabungan Tri Dharma Indonesia,
Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI).Tahun 1958 berdiri PERBUDI
(Perkumpulan Buddhis Indonesia) di Semarang. Tahun 1970 berubah menjadi PERBUDDHI (gabungan dari
PERBUDI, GPBI, PUUI, dan Wanita Buddhis Indonesia). Tahun 1972 fusi seluruh
organisasi Buddhis, yakni BUDHI (Buddha Dharma Indonesia).
Candi Borobudur, monumen Dinasti Syailendra yang
dibangun di Magelang, Jawa Tengah. Pada akhir abad ke-5, seorang biksu Buddha dari India
mendarat di sebuah kerajaan di Pulau Jawa, tepatnya
di Jawa Tengah sekarang.
Pada akhir abad ke-7, I Tsing, seorang peziarah Buddha dari
Tiongkok, berkunjung ke Pulau Sumatera (kala itu disebut Swarnabhumi), yang kala itu merupakan bagian
dari kerajaan Sriwijaya. Ia
menemukan bahwa Buddhisme diterima secara luas oleh rakyat, dan ibukota
Sriwijaya (sekarang Palembang), merupakan
pusat penting untuk pembelajaran Buddhisme (kala itu Buddha Vajrayana). I Tsing
belajar di Sriwijaya selama beberapa waktu sebelum melanjutkan perjalanannya ke
India.
Pada pertengahan abad ke-8, Jawa Tengah berada di bawah
kekuasaan raja-raja Dinasti Syailendra yang merupakan penganut Buddhisme. Mereka membangun
berbagai monumen Buddha di Jawa, yang paling terkenal yaitu Candi Borobudur. Monumen
ini selesai di bagian awal abad ke-9.Di
pertengahan abad ke-9, Sriwijaya berada di puncak kejayaan dalam kekayaan dan
kekuasaan. Pada saat itu, kerajaan Sriwijaya telah menguasai Pulau Sumatera,
Pulau Jawa dan Semenanjung Malaya.
[1]Huston Smith, 2008,Agama-Agama manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal:107.
[2] Arifin
,Menguak Misteri Agama-agama Besar. Yogyakarta: hal 103
[3] Harun
hadiwiyono Hal 78-79
[4]Arifin, 1987, Menguak Misteri Ajaran-Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: Golden
Terayon Press.Hal: 108
[5]Arifin, 1987, Menguak Misteri Ajaran-Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: Golden
Terayon Press.Hal: 108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar