Komarudin Hidayat menyebutkan adanya lima tipologi
sikap keberagamaan, yakni “eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme,
eklektivisme, dan universalisme”. Kelima tipologi ini tidak berarti
masing-masing lepas dan terputus dari yang lain dan tidak pula permanen, tetapi
lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan menonjol, mengingat setiap
agama maupun sikap keberagamaan senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan
kelima sikap di atas.[1]
Sekalipun ada perbedaan tipe-tipe teologis beragama
dengan para penstudi agama lain, seperti Panikkar, yang menyebutkan tiga
tipologi : eksklusif, inklusif, dan paralelisme, tetapi secara
esensial penyebutan-penyebutan tipologis itu mengandung pada makna dan
pengertian yang sama. Oleh karena itu, kita akan membahas tipologi-tipologi
beragama itu.
1. Eksklusivisme
Sikap eksklusivisme akan melahirkan pandangan ajaran
yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain sesat
dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan penganutnya
terkutuk dalam pandangan Tuhan.[2] Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman
ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini.[3] Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan
langsung dengan tuntutan eksklusivitas. Artinya,kalau suatu pernyataan
dinyatakan, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak bisa benar.
Menurut Nurcholish Madjid[4], sikap yang eksklusif ini ketika melihat agama bukan
agamanya, agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi
para pemeluknya. Paradigma ini merupakan pandangan yang do-minan dari zaman ke
zaman dan terus dianut hingga dewasa ini : “Agama sendirilah yang paling benar,
yang lain salah”.
Bagi agama Kristen, inti pandangan eksklusivisme
adalah bahwa Yesus adalah satu-satu jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah
jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa,
kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). Juga, dalam ayat lain (Kisah Para
Rasul 4,12) disebutkan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga
selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang
diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”.[5]
Menurut Budhy Munawar Rachman[6], untuk contoh Islam, sekalipun tidak ada semacam
kuasa gereja dalam agama Kristen, khususnya Katolik yang bisa memberi fatwa
menyeluruh seperti contoh di atas, banyak penafsir sepanjang masa yang
menyempitkan Islam pada pandangan-pandangan eksklusif. Beberapa ayat yang biasa
dipakai sebagai ungkapan eksklusifitas Islam itu antara lain :
Hari ini orang kafir sudah putus asa
untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah
kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku
untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu ((Q.S.5:3).
Barangsiapa menerima agama selain
Islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat
ia termasuk golongan yang rugi (Q.S.3:85).
Komarudin Hidayat menambahkan bahwa, sekalipun sikap
eksklusif merasa dirinya yang paling baik dan paling benar, sementara yang
lainnya tidak masuk hitungan, tidaklah selamanya salah dalam beragama. Sebab,
jika eksklusivisme berarti sikap agnostik, tidak toleran, dan mau menang sendiri,
maka tidak ada etika agama mana pun yang membenarkannya. Tetapi, jika yang
dimaksud dengan eksklusif berkenaan dengan kualitas, mutu, atau unggulan
mengenai suatu produk atau ajaran yang didukung dengan bukti-bukti dan argumen
yang fair, maka setiap manusia sesungguhnya mencari agama yang eksklusif
dalam arti excellent, sesuai dengan selera dan keyakinanya.[7]
Dalam jargon hidup politik modern, bersikap hidup
seperti itu adalah beragama yang eksklusif atau sikap hidup yang kafir. Yang
tentu saja mengabaikan sikap hidup yang pluralistik yaitu suatu sikap hidup
yang benar, dan oleh sebab itu, juga sikap hidup yang beriman.[8]
Pada sisi yang lain, sikap ini menimbulkan
kesukaran-kesukaran.
Pertama, sikap ini membawa bahaya yang
nyata akan intoleransi, kesombongan, dan penghinaan bagi yang lain.
Kedua, sikap ini pun mengandung kelemahan
intrinsik karena mengandaikan konsepsi kebenaran yang seolah logis secara murni
dan sikap yang tidak kritis dari kenaifan epistimologis.[9]
Menurut Friedrich Heiler, seorang ahli Ilmu
Perbandingan Agama dari Marburg menyatakan bahwa, secara tradisional tradisi
agama Barat adalah eksklusif dalam sikap mereka terhadap agama-agama lain
dengan memberikan kepada agama mereka sendiri validitas mutlak.[10]
Terlepas dari adanya kelemahan sikap eksklusivitas
itu, biasanya komitmen dan sikap tegas dalam memelihara dan mempertahankan
kebenaran agamanya adalah bisa dipandang positif. Sebab, sikap eksklusivitas
itu tidak selamanya bisa disalahkan atau dipandang negatif, tetapi sikap
demikian lebih banyak kepada faktor kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang
agamanya, atau, bahkan lingkungan sosial dan kultural dimana ia hidup, sangat
mempengaruhi dalam beragamnya.
2. Inklusivisme
Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama
yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna
agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman.
Menurut Nurcholish Madjid, sikap inklusif adalah yang memandang bahwa
agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita.[11]
Paradigma itu membedakan antara kehadiran penyelamatan
(the salvific presence) dan aktifitas Tuhan dalam tradisi-tradisi agama
lain, dengan penyelamatan dan aktifitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus Kristus.
Menjadi “inklusif” berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani
mengacu kepada Kristus. Paradigma ini, membaca agama orang lain dengan kacamata
sendiri. Sikap beragama inklusif pun bisa berarti memasukkan orang lain dalam
kelompok kita.[12]
Pandangan yang paling ekspresif dari paradigma
inklusif ini tampak pada dokumen Konsili Vatikan II, mempengaruhi seluruh
komunitas Katolik sejak 1965. Dokumen yang berkaitan dengan pernyataan inklusif
berkaitan dengan agama lain, ada pada “Deklarasi tentang Hubungan Gereja dan
Agama-agama Non-Kristiani”.
Teolog terkemuka yang menganut aliran ini adalah Karl
Rehner, yang pandangan-pandangannya termuat dalam karya terbesarnya the
Theological Investigation yang berjilid 20, dalam “Christianity and the Non-Christian
Religions”, jilid 5. Problem yang diberikannya adalah, bagaimana
terhadap orang-orang yang hidup sebelum karya penyelamatan itu hadir, atau
orang-orang sesudahnya tetapi tidak pernah tersentuh oleh Injil? Di sini,
Rahner memunculkan istilah inklusif, the Anonymous Christian (Kristen
anonim), yaitu orang-orang non-Kristen. Menurut pandangannya, Kristen anonim
juga akan selamat, sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan,
karena karya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar
Kabar Baik.[13]
Dalam contoh Islam juga sering dikemukakan misalnya
istilah dari seorang filsuf Muslim abad XIV, Ibn Taymiyah, yang membedakan
antara orang-orang dan agama Islam umum (yang non-Muslim par exellance),
dan orang-orang dan agama Islam khusus (Muslim par exellance). Kata
Islam sendiri di sini diartikan sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Mengutip
Ibn Taymiyah, “semua nabi dan pengikut mereka seluruhnya disebut oleh Allah
adalah orang-orang Muslim”.
Hal itu sebagaimana dalam Alquran (S.3:85), “Barangsiapa
yang menganut suatu din selain al-Islam maka tidak akan diterima daripadanya
al-din dan di akhirat ia termasuk yang merugi”. Dan firman-Nya, “sesungguhnya
al-din di sisi Allah ialah al-Islam” (Q.S.3:19). Dalam tafsiran penganut
“Islam Inklusif”, bahwa sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang
disebut al-Islam, itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara
harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang Muslim.
Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para nabi dan rasul, dalam da’wah mereka
pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing. Alquran (S.14:4)
menegaskan, bahwa “Kami tidak mengutus seorang Rasul; kecuali dengan bahasa
kaumnya”.[14] Dengan demikian, kalangan Islam inklusif menganut
suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu.
Sikap inklusivistik akan cenderung untuk
menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal
itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Sikap demikian akan membawa ke
arah universalisme dari ciri eksistensial atau formal daripada isi esensialnya.
Suatu kebenaran doktrinal hampir tidak dapat diterima sebagai yang universal
jika ia sangat berkeras mempertahankan isinya yang spesifik, karena pencerapan
isi selalu mengandaikan perlunya suatu ‘forma mentis’ yang khusus. Sikap
menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya,
akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau struktur formal
dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.[15]
Sikap
inklusivitas memuat kualitas keluhuran budi dan kemuliaan tertentu. Anda dapat
mengikuti jalan anda sendiri tanpa perlu mengutuk yang lain. Ibadah anda dapat
menjadi konkrit dan pandangan anda dapat menjadi universal. Tetapi, pada sisi
lain, sikap inklusivitas pun membawa beberapa kesulitan.
Pertama, ia juga menimbulkan bahaya
kesombongan, karena hanya andalah yang mempunyai privilese atas
penglihatan yang mencakup semua dan sikap toleran; andalah yang menentukan bagi
yang lain tempat yang harus mereka ambil dalam alam semesta.
Kedua, jika sikap ini menerima ekspresi
‘kebenaran agama’ yang beraneka ragam sehingga dapat merengkuh sistem-sistem
pemikiran yang paling berlawanan pun, ia terpaksa membuat kebenaran bersipat
relatif murni. Kebenaran dalam arti ini tidak mungkin mempunyai isi intelektual
yang independen, karena berbeda atau berlainan dengan orang lain.[16]
3. Pluralisme Atau Paralelisme
Dalam pandangan Panikkar dan Budhy Munawar Rachman,
masing-masing menyebutkan istilah pluralisme dan paralelisme.
Sikap teologis paralelisme adalah bisa terekspresi dalam macam-macam
rumusan, misalnya : “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk
mencapai Kebenaran yang Sama”; agama-agama lain berbicara secara berbeda,
tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”; atau “setiap agama
mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.[17]
Paradigma itu percaya bahwa setiap agama mempunyai
jalan keselamatan sendiri. Karena itu, klaim kristianitas bahwa ia adalah
satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan
yang lain (inklusif), harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan
fenomenologis.[18]
Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme lebih
moderat dari sikap inklusivisme, atau bahkan dari eksklusivisme. Ia
berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai
suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar (paralel)
sehingga semangat misionaris atas dakwah dianggap tidak relevan.[19]
Sikap
paralelistis memberikan keuntungan yang sangat positif; toleran dan hormat
terhadap yang lain serta tidak mengadili mereka. Sikap ini pun menghindari
sinkretisme dan eklektisisme yang keruh yang membuat suatu agama mengikuti
selera pribadi; sikap ini pun menjaga batas-batas tetap jelas dan merintis
pembaharuan yang ajeg pada jalan-jalan orang itu sendiri. Namun demikian, sikap
paralelisme ini pun tidak lepas dari kesulitan-kesulitan.
Yang pertama, sikap ini tampaknya
berlawanan dengan pengalaman historis bahwa tradisi-tradisi keagamaan dan
manusiawi yang berbeda biasanya muncul dari saling campur tangan, pengaruh dan
fertilisasi.
Kedua, sikap ini dengan tergesa-gesa
menganggap seolah-olah setiap tradisi manusia sudah memuat dalam dirinya
sendiri semua unsur untuk pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut;
singkatnya, sikap ini mengandaikan kecukupan diri dari setiap tradisi dan
sepertinya menyangkal adanya kebutuhan atau kesenangan untuk saling belajar.[20]
Di lingkungan Islam, tafsir Islam pluralis merupakan
pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Misalnya, perbedaan
antara Islam dan Kristen (dan antaragama secara umum) diterima sebagai
perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman
iman”. Menurut para penganut Islam pluralis (misalnya Schuon dan Hossein Nasr),
setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal: “perumusan iman” dan
“pengalaman iman”. Hanya saja, setiap agama selalu menanggap yang satu
mendahului yang kedua. Islam, misalnya, mendahulukan “perumusan iman” (tauhid)
dan “pengalaman iman” mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama
Kristen, mendahulukan “pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan
yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam
sakramen misa dan ekaristi), dan “perumusan iman” mengikuti pengalaman ini,
dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan
dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam
merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.[21]
Sekalipun demikian, sikap paralelistis, pada sisi yang
lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis kerja awal.
Sikap ini sekaligus membawa amanat akan pengharapan dan kesabaran; pengharapan
bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya, dan kesabaran karena sementara
ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita.
4. Eklektivisme
Eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan
yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang
dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama
menjadi semacam mosaik yang bersipat eklektik.[22]
5. Universalisme
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua
agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena faktor historis-antropologis, agama
lalu tampil dalam format plural.[23]
Menurut Raimundo Panikkar, jika suatu perjumpaan agama
terjadi, baik dalam fakta yang nyata maupun dalam suatu dialog yang disadari,
maka orang membutuhkan metafora dasar untuk mengutarakan masalah-masalah yang
berbeda. Oleh karena itu, tiga macam model perjumpaan agama bisa berguna, yakni
model fisika : pelangi, model geomteri : invarian topologis, dan model
antropologis : bahasa.[24]
Paradigma atau sikap beragama yang berkembang di dunia
Kristen tersebut, ada hubungannya dengan teori W.C. Smith dalam mengkaji agama
orang lain. Ada beberapa tahapan dalam hubungan antar agama yang akhirnya
memunculkan dialog harmonis antar umat beragama. Tahapan-tahapan ini
dianalogkan dalam bentuk : I, You dan We. “I” menunjukkan
eksklusif. “You”, menunjukkan inklusif, dan “we” menunjukkan
keterbukaan.
Para penganut agama memberikan tanggapan atau respon
terhadap doktrin agamanya. Dalam memberikan respon ini, para penganut agama,
paling tidak, memiliki tiga kecenderungan yang bisa diamati. Komarudin Hidayat
memberikan ketiga kecenderungan itu, yang menurutnya bukan sebagai suatu
pemisahan, yakni kecendeungan “mistikal”(solitary),“profetik-ideologikal”
(solidarity), dan “humanis-fungsional”.[25]
Respon keberagamaan mistikal, antara lain,
ditandai dengan penekanannya pada penghayatan individual terhadap kehadiran
Tuhan. Dalam tradisi mistik, puncak kebahagiaan hidup adalah apabila seseorang
telah berhasil menghilangkan segala kotoran hati, pikiran, dan perilaku
sehingga antara dia dan Tuhan terjalin hubungan yang intim yang dijalin dengan
cinta kasih.
Tipologi kedua adalah profetis ideologikal.
Kecenderungan beragama model ini, antara lain, ditandai dengan penekanannya
pada misi sosial keagamaan dengan menggalang solidaritas dan kekuatan. Oleh
karenanya, kegiatan penyebaran agama dengan tujuan menambah pengikut dinilai
memiliki keutamaan teologis dan memperkuat kekuatan ideologis.
Yang ketiga,humanis fungsional, adalah
kecenderungan beragama dengan titik tekan pada penghayatan nilai-nilai
kemanusiaan yang dianjurkan oleh agama. Pada tipe ini, apa yang disebut
kebijakan hidup beragama adalah bila seseorang telah beriman pada Tuhan dan
lalu berbuat baik terhadap sesamanya. Sikap toleran dan eklektisisme pemikiran
beragama merupakan salah satu ciri tipe ini.
Kecenderungan keberagamaan di atas hanyalah merupakan
respon aksentuasi dan tidak identik dengan totalitas doktrin agama itu sendiri.
Partisipasi dan pelaksanaan seseorang ke dalam agama biasanya bersipat parsial,
dibatasi oleh kemampuan, pilihan, serta kuat lemahnya komitmen iman seseorang.
Namun demikian, dalam konteks hidup bermasyarakat dan bernegara, tipologi
keberagamaan ketiga, yang menekankan orientasi kemanusiaan, perlu mendapat
apresiasi dan penekanan. Hikmah hidup keberagamaan haruslah bermuara pada
komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa harus dihambat
oleh sentimen kelompok keagamaan.[26]
Saya melihat bahwa, kelima tipologi beragama itu harus
menjadi ciri dan karakter manusia beragama secara bersamaan. Sebab, tanpa
kecenderungan beragama yang pertama, kedua,dst. tidak akan memunculkan
kesadaran dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kalaupun terjadi,
akan nampak kehampaan spiritual, yang akan muncul adalah keinginan timbal balik
berupa penghargaan sosial atau penghormatan atas jasa.
Komaruddin Hidayat lebih cenderung pada pandangan
inklusivisme beragama yang barangkali lebih mudah diterima ketimbang keempat
faham yang lain, karena dalam faham inklusivisme seseorang masih tetap meyakini
bahwa agamanya paling baik dan benar. Namun, dalam waktu yang sama, mereka
memiliki sikap toleran dan bersahabat dengan pemuluk agama lain. Sejarah
membuktikan bahwa semua pendiri agama besar selalu bersikap inklusif. Sementara
itu, ketika eksklusivisme menjadi pandangan hidup atau ideologi beragama yang
dianut para pemuka agama dan penguasa negara, maka biasanya agama bukannya
menjadi sumber perdamaian, melainkan sumber konflik. Sedangkan pluralisme agama
sebagai suatu keniscayaam teologis dan historis, sikap kedewasaan memeluk suatu
agama akan tumbuh kebenarannya. Bisa jadi orang yang menganggap semua agama
sama saja menunjukkan bahwa dia kurang taat dalam beragama serta tidak serius
mendalami ajaran suatu agama.[27]
Inklusivitas beragama memang sangat diperlukan dalam
memelihara perdamaian. Jika agama memang menyumbang perdamaian, maka agama –
melalui para pengikutnya – harus belajar meninggalkan absolutisme dan menerima
pluralisme. Kita boleh melihat agama sebagai absolut, karena mungkin inilah
makna kepenganutan kepada suatu agama. Namun, pemahaman kita, baik pribadi maupun
kelompok melalui indera akal dan batin, menyimpan kualitas kemanusiaan yang
relatif. Karena itulah, tidak ada tempat bagi seseorang untuk mengabsolutkan
faham keagamaan sendiri.[28]
Ibn al-‘Arabi telah pula meletakkan prinsip-prinsip
fundamental spiritualitas agama yang mengungkai persoalan kebahagiaan
(diferensiasi) agama dalam apa yang dia sebut sebagai “lingkaran keberbagaian
religius” (the circle of religious diversity).
Prinsip-prinsip fundamental itu adalah, diferensiasi
agama-agama wahyu (revealed religions) semata-mata karena diferensiasi
hubungan-hubungan keahlian; diferensiasi hubungan-hubungan keilahian (divine
relationships) semata-mata karena diferensiasi keadaan-keadaan (states);
diferensiasi keadaan-keadaan semata-mata karena diferensiasi waktu;
diferensiasi waktu semata-mata karena diferensiasi gerakan-gerakan;
diferensiasi gerakan-gerakan semata-mata karena diferensiasi
perhatian-perhatian; diferensiasi perhatian-perhatian semata-mata karena
diferensiasi tujuan-tujuan; diferensiasi tujuan-tujuan semata-mata karena
diferensiasi penyingkapan-penyingkapan diri; dan diferensiasi
penyingkapan-penyingkapan diri semata-mata karena diferensiasi agama-agama wahyu;
dan seterusnya.[29]
Inilah yang barangkali disebut sebagai pesan universal
spiritualitas agama yang menjadi fokus perhatian sufisme – spiritualitas yang
lebih menitikberatkan keserupaan (similarity) peran agama-agama sebagai
jalan menuju kesempurnaan manusia, dan bahwa untuk meraih kesempurnaan itu
terdapat banyak pintu menuju Tuhan sebagai tujuan ultima manusia yang
bergerak meraih kesempurnaan religius tanpa harus terperangkap pada
bentuk-bentuk formalisme dan pragmatisme ritual agama. Sebab, pada dasarnya
manusia itu adalah beragama (“homo religiosus”).[30]
Tidak diragukan lagi bahwa pada masa-masa kontemporer
terjadi pergeseran-pergeseran teologis tertentu yang jauh lebih kompleks
dibandingkan masa-masa silam. Untuk konteks masyarakat Islam Indonesia,
pergeseran pandangan teologis tertentu itu terlihat jelas sejak tahun 1970-an,
berbarengan dengan dimulainya program modernisasi ekonomi dan sosial oleh
pemerintah orde baru.[31]
Atas dasar itu, Azyumardi Azra menyebutkan adanya
beberapa sikap berteologi umat Islam pada masa kontemporer. Tentu saja, sikap
teologis ini bisa juga berlaku bagi agama-agama lain, dan sangat mempengaruhi
pula terhadap proses dan dinamika kerukunan hidup antarumat beragama di
Indonesia. Sikap-sikap berteologi itu adalah, teologi modernisme, teologi
transformatif, teologi inklusivisme, teologi fundamentalisme, dan teologi
neotradisionalisme.[32]
Teologi modernisme pada intinya berargumen
bahwa modernisasi dan pembangunan umat Islam Indonesia harus dimulai dari
pembaruan teologis dan aspek-aspek pemikiran lainnya. Tokoh teologi modernisme
ini antara lain, Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Bagi Harun Nasution,
teologi Asy’ariyah, yang disebutnya sebagai teologi tradisional, tidak
cocok dengan semangat kemajuan. Teologi yang cocok pada saat sekarang
adalah teologi yang rasional yakni teologi Mu’tazilah. Sedangkan Nurcholish
Madjid bertitik tolak dari apa yang disebutnya sebagai “pembaharuan pemikiran”,
yang mencakup sekularisasi, kebebasan intelektual, gagasan kemajuan, dan sikap
terbuka.[33]
Teologi transformatif, dalam batas tertentu, merupakan
bagian dari teologi modernisme, yang sama-sama ingin memajukan masyarakat
Muslim, tetapi tidak menekankan pembaruan teologi. Sebaliknya, teologi
transformatif memandang bahwa pembaruan itu harus dimulai dari masyarakat
paling bawah (grassroots). Para protagonis teologi ini antara lain
M.Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Mansour Fakih, dan banyak aktivis LSM lainnya.
Teologi Inklusivisme, dapat pula disebut
sebagai “teologi kerukunan keagamaan”, baik di dalam satu agama tertentu maupun
antara satu agama dengan agama lainnya. Para pendukung teologi ini adalah A.
Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Djohan Effendi.
Teologi fundamentalisme,dalam banyak hal muncul
sebagai reaksi terhadap teologi modernisme yang dipandang telah “mengorbankan”
Islam untuk kepentingan modernisasi yang oleh kalangan fundamentalis dianggap
nyaris identik dengan westernisasi. Tema pokok teologi ini adalah kembali
kepada “Islam yang murni” sebagaimana dipraktikkan Nabi Muhammad dan para
sahabatnya.Juga, tema lain yang cukup dominan adalah islamisasi pemikiran dan
kelembagaan masyarakat Muslim.
Teologi Neotradisionalisme, muncul dan
berkembang sedikit banyak sebagai reaksi terhadap teologi modernisme yang
dipandang telah mendorong terjadinya “despiritualisasi” Islam dalam proses
modernisasi. Salah satu tema pokok teologi neotradisionalisme ialah
kembali kepada kekayaan warisan spiritual Islam tradisional, khususnya tasawuf
(dan tarekat), dan syariah.[34]
[30] Mircea Eliade, the Sacred and
the Profane, the Nature of Religion, A Harvest Book, Harcourt, Brace &
World, Inc, New York, 1959, hal. 203.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar